Seluruh
rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Rini, hilang
begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut
secara paksa.
Di rumah aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.
Di rumah aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.
tiba –
tiba datang kakakku dengan wajah yang kesal
“kok kamu enak - enaknya ti`duran sambil makan coklat sama main games?” tanya kakakku
“kok kamu enak - enaknya ti`duran sambil makan coklat sama main games?” tanya kakakku
“terus
aku harus ngapain?bantuin kakak gitu?”aku menjawab
“iyalah, kamu kan kerjaannya cuma makan, tidur, main, dan apalah... “kakakku menjawab sedikit kesal
“hmmm seenaknya banget kakak ngomong, aku tuh disini paling rajin kalo beres – beres rumah, emangnya kakak.”jawabku dengan seenaknya
“rajin dari mana? nyapu aja kamu males, udah mau di bilang rajin, harusnya kamu malu, kamu tuh kan cewe, harusnya kamu itu rajin dalam segala hal mulai dari beres – beres rumah, bantuin kakak, ngerjain PR, suka menabung, ga boleh ngelawan kalo disuruh...”kakakku belum sempat melanjutkan pembicaraannya sudah aku potong
“iyalah, kamu kan kerjaannya cuma makan, tidur, main, dan apalah... “kakakku menjawab sedikit kesal
“hmmm seenaknya banget kakak ngomong, aku tuh disini paling rajin kalo beres – beres rumah, emangnya kakak.”jawabku dengan seenaknya
“rajin dari mana? nyapu aja kamu males, udah mau di bilang rajin, harusnya kamu malu, kamu tuh kan cewe, harusnya kamu itu rajin dalam segala hal mulai dari beres – beres rumah, bantuin kakak, ngerjain PR, suka menabung, ga boleh ngelawan kalo disuruh...”kakakku belum sempat melanjutkan pembicaraannya sudah aku potong
“udah deh
kak telinga aku udah berat dengernya, daripada kakak ngomong terus ga ada
untungnya, mendingan kakak cari kerjaan yang bisa menguntungkan kakak”aku
menjawab dengan seenaknya
tiba...tiba...tiba.. saat kami berdua sedang beradu mulut, kami mendengar suara sandal yang menuju pintu garasiku, tapi pikiranku tidak akan salah pasti Rini sepupuku...
tiba...tiba...tiba.. saat kami berdua sedang beradu mulut, kami mendengar suara sandal yang menuju pintu garasiku, tapi pikiranku tidak akan salah pasti Rini sepupuku...
“assalamuala’ikum...
“ Rini mengucapkan salam sebelum masuk
“walaikumsalam...”kami
berdua pun menjawabnya
dan Rini pun
langsung masuk ke dalam rumah, dan pertengkaran antara saya dan kakak saya
terhenti semenjak kedatangan Rini, apabila Rini datang ke rumah pasti dia akan
menceritakan sesuatu.
setelah
itu dia langsung duduk di samping dan berbisik “gua mau curhat” dengan nada
yang lembut
tapi setelah kedatangan Rini kakakku langsung beranjak pergi ke dapur, untuk menyiapkan makan siang.
tapi setelah kedatangan Rini kakakku langsung beranjak pergi ke dapur, untuk menyiapkan makan siang.
“curhat
tentang apaan nih?” aku menjawab dengan senang.
“salma, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Rini menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir enam belas tahun
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Daffa.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Daffa. Daffa Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga sekolah sama kaya lo. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Rini, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Rini. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Daffa. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Rini ternyata mencintai Daffa. Ini bukan ternyata menyukai orang yang sama denganku. salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku menyukai dia. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Rini. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Rini, aku berharap, cintaku pada Daffa seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Rini. Dan membuatnya bahagia. Semenjak itu aku mulai menjauh dari Daffa, hanya untuk membuat Rini senang dan bahagia.
“salma, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Rini menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir enam belas tahun
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Daffa.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Daffa. Daffa Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga sekolah sama kaya lo. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Rini, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Rini. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Daffa. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Rini ternyata mencintai Daffa. Ini bukan ternyata menyukai orang yang sama denganku. salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku menyukai dia. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Rini. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Rini, aku berharap, cintaku pada Daffa seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Rini. Dan membuatnya bahagia. Semenjak itu aku mulai menjauh dari Daffa, hanya untuk membuat Rini senang dan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar